BI 'Cemaskan' Pertumbuhan Ekonomi Sumatera dan Kalimantan
KANALSUMATERA.com - Bank Indonesia (BI) menilai pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera dan Kalimantan perlu diwaspadai. Pasalnya, perekonomian kedua pulau tersebut berpotensi melambat.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan potensi pelambatan datang dari penurunan harga komoditas yang menjadi penopang ekonomi di dua kawasan tersebut. Ambil contoh, batu bara.
Pada Februari 2019 lalu, Harga Batu Bara Acuan (HBA) ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar US$91,8 per ton. Harga itu turun US$0,61 atau 0,66 persen dari HBA Januari 2019, yakni US$92,41 per ton.
Sebagai catatan, tren penurunan harga batu bara telah terjadi sejak September 2018 di mana HBA ditetapkan sebesar US$104,81 per ton, turun dari HBA Agustus US$ 107,83 per ton.
Selain batu bara, penurunan harga juga dialami oleh minyak mentah Indonesia (ICP). Rata-rata harga minyak pada Januari 2019 tercatat US$56,55 per barel atau di bawah Januari 2018 yang masih US$65,59 per barel.
"Hati-hati keberlangsungan ekonomi di daerah-daerah-daerah ini (Sumatera dan Kalimantan) tergantung pada harga ekspor komoditas," ujarnya di Jakarta, Senin (4/3).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera dan Kalimantan masih di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tahun lalu mencapai 5,17 persen.
Pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera pada tahun lalu mencapai 4,54 persen dengan kontribusi sebesar 21,58 persen terhadap perekonomian Indonesia. Realisasi pertumbuhan ekonomi tersebut membaik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 4,3 persen.
Sementara, pertumbuhan ekonomi Pulau Kalimantan hanya 3,91 persen dengan kontribusi 8,2 persen terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Capaian tersebut lebih rendah dari realisasi 2017 yang sebesar 4,33 persen.
Kedua pulau yang diberkahi dengan sumber daya minyak, mineral dan batu bara itu mengandalkan aktivitas pertambangan dalam perekonomian mereka. Padahal, sejak akhir tahun lalu harga komoditas trennya menurun seperti batu bara dan minyak mentah.
Melihat kondisi tersebut, Perry seperti dilansir dari CNNIndonesia menilai Indonesia perlu membangun industri hilir dari komoditas. Caranya, dengan lebih banyak mengundang investor untuk masuk, misalnya untuk proyek pembangunan fasilitas dan pemurnian (smelter).
Hilirisasi tersebut saat ini sudah dilakukan dalam pembangunan proyek smelter nikel di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Nilai tambah bisa membuat harga komoditas menjadi lebih tinggi di pasaran global.
Selain itu, produknya juga bisa lebih banyak dimanfaatkan di dalam negeri sehingga bisa menekan impor. Masuknya investasi juga bisa mengerek pertumbuhan ekonomi yang tahun ini diperkirakan BI ada di kisaran 5 hingga 5,4 persen.
"Keberlangsungan (perekonomian) daerah ini akan sangat bergantung pada kemampuan Indonesia melakukan relokasi industri," ujarnya. Kso